Apa itu SEJARAH FESTIVAL FILM INDONESIA ( FFI )
FESTIVAL film bukan kegiatan baru bagi orang-orang film Indonesia. Ini bisa dibuktikan oleh bahan-bahan tertulis tentang festival pertama sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. Tapi yang menarik adalah ini: catatan sejarah yang lengkap tentang festival keenam tidak kurang, namun untung festival yang kedua sampai lima tidak ditemukan. "Ya memang tidak pernah ada", kata seorang tokoh perfilman. Konon setelah festival pertama tahun 1955 di Jakarta itu, ada juga rencana untuk menyelenggarakan kegiatan yang sama tahun berikutnya di Medan. Tapi karena dunia perfilman mengalami kemerosotan, orang-orang sibuk menyelamatkan diri dan modalnya sendiri. Lima tahun tanpa festival berlalu. Memasuki tahun 1960, Indonesia yang harus mengirimkan delegasi ke Festival Film Asia ketujuh di Tokio terdesak untuk menyelenggarakan seleksi. Mula-mula festival yang di selenggarakan oleh PPFI kendati pun konon pembiayaannya ditang gung almarhum Djamaluddin Malik (Persari) -- akan disebut festival yang kedua saja, tapi karena dianggap kurang enak bahwa sesudah lama baru muncul festival kedua, maka di tentu kan saja bahwa secara imajiner tiap tahun ada festival dan dihitung dari tahun 1955, tahun 1960 ini merupa kan yang keenam. Sudah itu tidak pernah ada kabar lagi tentang nasib pesta-pesta film Indonesia yang biasanya selalu di ramaikan dengan pawai keliling, kembang api serta segala macam pesta. Ketika orang-orang film mulai bernafas kembali -- setelah lama tertndas oleh keadaan ekonomi, tekanan Lekra dan Papfias - tahun 1967 menyaksikan munculnya suatu festival yang ikut numpang dalam Pekan Apresiasi Film yang diorganisir bersama dengan fihak Departemen Penerangan. Baru setelah enam tahun berlalu, festival yang dari dulu diinginkan berlangsung secara teratur, dapat di selenggarakan lagi. Untuk kontinuitas dan keteraturannya itulah kabarnya maka fihak perfilman mendirikan yayasan khusus untuk mengurusi festival-festival tersebut. Ini konon merupakan hasil dari pengalaman pahit dengan dua festival pertama yang diselenggarakan oleh PPFI. Karena yang menyelenggarakan fihak produser, sudah tentu kepentingan komersiil mereka tidak bisa tersisihkan. Akibatnya juri mengalami tekanan, sampai-sampai di antara mereka sendiri terjadi polemik berlcepanjangan dan saling melempar tanggurag jawab, bahkan jauh setelah festival itu sendiri usai. Tidak, jeleknya untuk sekedar mengingat beberapa hasil tiga festival terdahulu. Kegiatan tahun 1955 memilih film Lewat Jam Malam dan Tarmi7)a sebagai film-film terbaik, sedang A.N. Alcaff dan Dahlia masing-masing beruntung terpilih sebagai aktor dan aktris terbaik. Tahun 1960 melahirkan Farida Ariani dan Soekarno M. Noor sebagai aktris dan aktor terbaik sedang film yang disepakati juri sebagai paling baik waktu itu adalah Turang, karya Bachtiar Siagian. Mungkin karena tahun 1967 dunia perfilman masih berada dalam ekor krisis masa Nasakom maka tidak banyak film yang sempat ikut. Para-juri akhirnya tidak memilih film terbaik, tapi Soekarno M.Noor sekali lagi mendapat kehormatan dipilih sebagai aktor terbaik sedang Mike Widjaja berhasil merebut gelar aktris terbaik. Pada festival ini lah pula Idris Sardi untuk pertama kalinya merebut gelar ilustrator musik terbaik, dan sejak itu larisnya sungguh bagaikan pisang goreng beraroma vanili.
Djamaludin Malik dan Elly Yunara disambut dan diiringi para sineas dan artis, memasuki gedung dimana akan dilangsungkan Festival Film I tahun 1955
Sejarah FFI
Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India, yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masing H Usmar Ismail dan H Djamaluddin Malik, mempelopri Festival Film Indonesia(FFI).
Pertama kali mereka menggelarnya di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina.
Ini yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dalam FFA I 1955, film Lewat Jam Malam, produksi Perfini, meraih anugerah film terbaik, dengan Usmar Ismail sebagai produser. Film ini juga menempatkan AN Alcaff sebagai pemeran utama pria terbaik dan Dhalia menjadi pemeran wanita terbaik, dan aktor pembantu terbaik diraih Bambang Hermanto.
Sedangkan sutradara terbaik direbut Lilik Sudjio lewat film Tarmina, produksi Persari. Gebrak bioskop utama Setelah FFA pertama sukses, keduanya kembali saling bahu-membahu dan bergandengan tangan. Mereka menghadapi keangkuhan bioskop-bioskop kelas satu atau utama yang kala itu menolak memutar film nasional dan hanya memberi tempat bagi film-film AS. Untuk membuktikan bahwa film nasional juga bermutu dan digemari penonton kelas atas, Usmar membuat film berjudul Krisis, dibintangi Nurnaningsih. Film ini diputar selama 35 hari di Bioskop Metropole. Sebelumnya, bioskop yang kini dikenal dengan Megaria, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, hanya memutar film-film produk MGM (Metro Goldwin Mayer), perusahaan film terbesar di Hollywood, AS. Setelah itu, Asrul dengan Perfini-nya membuat film Tiga Dara, dengan pemain Mieke Widjaya, Indriati Iskak, dan Chitra Dewi. Seperti juga Krisis, film ini sukses di bioskop- bioskop kelas atas. Menurut pengamat film era 1950-an, A Rahman Latief, begitu gigihnya menampilkan film-film Indonesia di bioskop kelas satu, Usmar Ismail pernah marah besar kepada Bioskop Capitol, Jl Pintu Air, depan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pasalnya, Capitol sempat menolak memutar film Tiga Dara-nya atau Djanjiku produksi Djamaluddin Malik dari Persari.
Setelah mau memutar film-film produksi Usmar dan Djamal, Capitol ternyata sukses besar dalam meraih penonton. Kegigihan dua produser film itu mendapat respon positif dari Walikota Jakarta, Sudiro. Ia tanpa ragu-ragu mewajibkan bioskop-bioskop kelas satu untuk memutar film nasional. Masuk Lesbumi Usmar Ismail mendirikan Perfini Maret 1950, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan. Dengan kantor pusatnya di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Djamaluddin Malik mendirikan Persari pada 1953 dengan studionya di Polonia, Jatinegara. Bahkan dia menyediakan perumahan untuk para artis dan aktornya. Sekarang ini Persari diteruskan oleh putri Djamal, Camelia Malik dan suaminya Harry Capri. Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usman, Djamal, Asrul Sani, Suman Jaya, dan beberapa bintang lainnya yang telah banyak menyumbang pada dunia film, dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi, dan entah apa lagi. Untuk menghadapi intrik- intrik PKI, Usman, Djamal, dan Asrul Sani bergabung dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Djamal yang dilahirkan 1917 meninggal 1970 dalam usia 53 tahun. Setahun kemudian disusul dengan wafatnya Usmar Ismail pada 20 Maret 1971, dalam usia 50 tahun (lahir 2 Januari 1921). Kontribusi lain Usmar di perfilman nasional ialah dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menghasilkan sejumlah insan film kenamaan, seperti Teguh Karya, dan Sukarno M Noer. Namanya juga diabadikan untuk sebutan gedung: Pusat Perfilman Usmar Ismail, di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. ( alwi shahab )
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=227162&kat_id=383Pertama kali mereka menggelarnya di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina.
Ini yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dalam FFA I 1955, film Lewat Jam Malam, produksi Perfini, meraih anugerah film terbaik, dengan Usmar Ismail sebagai produser. Film ini juga menempatkan AN Alcaff sebagai pemeran utama pria terbaik dan Dhalia menjadi pemeran wanita terbaik, dan aktor pembantu terbaik diraih Bambang Hermanto.
Sedangkan sutradara terbaik direbut Lilik Sudjio lewat film Tarmina, produksi Persari. Gebrak bioskop utama Setelah FFA pertama sukses, keduanya kembali saling bahu-membahu dan bergandengan tangan. Mereka menghadapi keangkuhan bioskop-bioskop kelas satu atau utama yang kala itu menolak memutar film nasional dan hanya memberi tempat bagi film-film AS. Untuk membuktikan bahwa film nasional juga bermutu dan digemari penonton kelas atas, Usmar membuat film berjudul Krisis, dibintangi Nurnaningsih. Film ini diputar selama 35 hari di Bioskop Metropole. Sebelumnya, bioskop yang kini dikenal dengan Megaria, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, hanya memutar film-film produk MGM (Metro Goldwin Mayer), perusahaan film terbesar di Hollywood, AS. Setelah itu, Asrul dengan Perfini-nya membuat film Tiga Dara, dengan pemain Mieke Widjaya, Indriati Iskak, dan Chitra Dewi. Seperti juga Krisis, film ini sukses di bioskop- bioskop kelas atas. Menurut pengamat film era 1950-an, A Rahman Latief, begitu gigihnya menampilkan film-film Indonesia di bioskop kelas satu, Usmar Ismail pernah marah besar kepada Bioskop Capitol, Jl Pintu Air, depan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pasalnya, Capitol sempat menolak memutar film Tiga Dara-nya atau Djanjiku produksi Djamaluddin Malik dari Persari.
Setelah mau memutar film-film produksi Usmar dan Djamal, Capitol ternyata sukses besar dalam meraih penonton. Kegigihan dua produser film itu mendapat respon positif dari Walikota Jakarta, Sudiro. Ia tanpa ragu-ragu mewajibkan bioskop-bioskop kelas satu untuk memutar film nasional. Masuk Lesbumi Usmar Ismail mendirikan Perfini Maret 1950, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan. Dengan kantor pusatnya di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Djamaluddin Malik mendirikan Persari pada 1953 dengan studionya di Polonia, Jatinegara. Bahkan dia menyediakan perumahan untuk para artis dan aktornya. Sekarang ini Persari diteruskan oleh putri Djamal, Camelia Malik dan suaminya Harry Capri. Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usman, Djamal, Asrul Sani, Suman Jaya, dan beberapa bintang lainnya yang telah banyak menyumbang pada dunia film, dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi, dan entah apa lagi. Untuk menghadapi intrik- intrik PKI, Usman, Djamal, dan Asrul Sani bergabung dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Djamal yang dilahirkan 1917 meninggal 1970 dalam usia 53 tahun. Setahun kemudian disusul dengan wafatnya Usmar Ismail pada 20 Maret 1971, dalam usia 50 tahun (lahir 2 Januari 1921). Kontribusi lain Usmar di perfilman nasional ialah dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menghasilkan sejumlah insan film kenamaan, seperti Teguh Karya, dan Sukarno M Noer. Namanya juga diabadikan untuk sebutan gedung: Pusat Perfilman Usmar Ismail, di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. ( alwi shahab )
Sejarah Festival Film Indonesia
KERDEKAAN
memang membawa berkah. Tapi Proklamasi 1945 juga me”lahir”kan
revolusi fisik, di kala tergonjang-ganjing hingga 1949. Tidak sedikit
yang hijrah ke ibu kota perjuangan, Yogyakarta, meninggalkan Jakarta
yang di”kuasai” lagi oleh (bekas) penjajah Belanda. Termasuk para
seniman muda yang kemudian jadi tokoh perfilman nasional, seperti
Usmar, D. Djajakusuma (1918-1987), Surjosoemanto (1918-1971), dll.
Mereka belajar (teori) tentang film dari para senior. Antara lain
Andjar Asmara (1902-1961), R.M. Soetarto (1914-2001) dan DR. Huyung(1907-1952).Sementara
Djamal pada 1947 mengumpulkan pemain 2 rombongan sandiwara miliknya,
masing-masing Pantjawarna (dari Solo) pimpinan M. Budhrasa
(1901-1977) dan Bintang Timur (dari Yogya) yang dipimpin Darussalam
(1920-1993). Pertemuan di Solo itu mengeluarkan keputusan terbentuknya
badan usaha Firma Perseroan Artis Indonesia (PERSARI), yang tujuan
jangka panjangnya adalah mendirikan sebuah perusahaan film. Djamal
telah berpikir “jauh ke depan”, PERSARI berdiri pada 1951.Di
masa sebelum kemerdekaan, terdapat 3 perusahaan film Cina, yaitu Tan
Khoen Yauw dan adiknya Tan Khoen Hian (TAN’s Film), Wong Bersaudara
dan Java Industrial Film (JIF) yang dikelola Teng Chun bersama
adik-adiknya. Sempat menikmati “masa panen” sehabis sukses Terang
Boelan pada 1938. • 1937 - 2 film • 1938 - 3 film • 1939 - 5 film • 1940 - 14 film • 1941 - 30 film • 1942 - 3 filmAnjloknya
produksi 1942, yang hanya sepersepuluh dibanding 1941, adalah
disebabkan menyerahnya Belanda kepada Jepang (8 Maret 1942). Yang
pertama dilakukan Jepang adalah menyita peralatan perusahaan film
swasta, dan melarang swasta membikin film, cerita maupun dokumenter.
Jepang lebih banyak membikin film non-cerita yang bersifat
propaganda/penerangan. Beberapa film cerita juga dibikin, tapi melulu
berisi propaganda (Berdjoang/1943, Ke Seberang/1944).Di
masa pendudukan Jepang, cuma Tan Bersaudara yang tetap di bidang
film, sebab kedua kakak-adik itu adalah pengusaha dua bioskop di
Jakarta yang bernama sama, Rialto (di Senen dan Tanah Abang). Teng
Chun bikin rombongan sandiwara Djantoeng Hati, tapi tidak lama.
Sedangkan Wong Bersaudara dagang kecap dan limun.Pada
1948 Wong dan Tan bergabung dalam Tan & Wong Bros. dengan
produksi pertamanya Airmata Mengalir di Tjitarum, yang menampilkan
Sofia (Sofia WD, 1925-1986). Teng Chun, bekerja sama dengan teman
sekolahnya Fred Young (1900-1977) bikin perusahaan baru, Bintang
Surabaja, pada 1949. (Nama itu semula nama rombongan sandiwara yang
dikelola Fred dari 1941 hingga 1948).Dengan
JIF-nya Teng Chun telah coba membangun usaha film sebagai industri.
Namun Bintang Surabaja tak bertahan lama, tutup pada 1962, seiring
lesunya produksi film dalam negeri. Sementara itu PERSARI muncul sebagai
kekuatan baru. Djamal mendirikan kompleks studio yang luas di Polonia
Jakarta Timur. Studio dibangun Djamal pada 1952, setahun sesudah
berdirinya PERSARI. Juga mengikat sejumlah bintang yang semula adalah
anggota rombongan Pantjawarna dan Bintang Timur.Tindakan
serba berani nyaris selalu muncul dari Djamal. “Big Boss” Persari
itulah yang pada akhir 1954 melontarkan gagasan penyelenggaraan Festival
Film Indonesia yang pertama, Maret 1955. Dengan salah satu maksudnya
adalah menyeleksi film wakil Indonesia ke Festival Film Asia
(Tenggara) di Singapura, Mei 1955. Sebagaimana disampaikan panitia,
sehabis rapat pada 2 Pebruari 1955 : 1. sebagai pendorong bagi perbaikan mutu/tehnik film Indonesia. 2. Membikin penonton-penonton Indonesia (ber) film-minded terhadap filmnya sendiri.
3. Sebagai pemilihan terhadap film-film Indonesia yang akan
dikirimkan ke Festival Film Asia Tenggara, Mei 1955, di Singapura. 4. Merapatkan hubungan kebudayaan serta silaturahmi di antara bangsa melalui film, di Asia khususnya dan di dunia umumnya.Panitia
inti adalah Djamal (Ketua), Usmar (wakil ketua), Mansur Bogok
(Sekretaris) dan The Teng Hoei (bendahara). Diperkuat oleh direksi
bioskop-bioskop Metropole/Megaria (Jakarta), Broadway (Surabaya), ODB
(Medan), International (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin) dan Capitol
(Makasar).Kepada
pemenang aktor/aktris utama dan aktor/aktris pembantu diutus
menghadiri Festival Film Asia (Tenggara), yang ongkos p.p. maupun
biaya-biaya lain selama di Singapura, semua ditanggung oleh panitia.Tapi nama hadiah
banyak sekali yang diajukan/disarankan, dari hadiah “Roekiah”,
“Cornel Simanjuntak”, “S. Turur”, “Ronggowarsito” hingga “Dr. Huyung.”
Kemudian diputuskan nama yang panjang, yaitu hadiah Festival Film
Indonesia yang pertama, karena tak satupun dari calon-calon nama itu
yang disepakati.Dalam
majalah Aneka No. 5 Th. V, 10 April 1955 disebutkan bahwa panitia
diperkuat/disempurnakan: Djamal (Ketua), R.M. Soetarto (wakil ketua),
Mansur Bogok (sekretaris), The Teng Hoei (bendahara), Usmar Ismail
(formatur dewan juri), M. Panji Anom (dekorasi), The Teng Hoei (urusan
booking), M. Bogok/Ong Soen Hin (Publicity) dan D. Djajakusuma (urusan
hadiah).Sedangkan Dewan
Juri terdiri dari Prof.dr. Bahder Djohan (ketua kehormatan), Sitor
Situmorang (wakil ketua), Oei Hoay Tjiang (sekretaris) dengan para
anggota dr. Rusmali, Basuki Resobowo, Andjar Asmara, Oei Soen Tjan,
Jusuf Ganda, Armijn Pane, T. Sjahril, Lodge Cunningham, Kay Mander,
Sudjatmoko dan RAJ Sudjasmin.Festival
diikuti 12 film: Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat
Djam Malam (Perfini/Persari), Tarmina (Persari), Antara Tugas dan
Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong & Surat (GAF Sang Saka),
Djakarta di Waktu Malam (Tan & Wong), Burung Merpati (Canary), Rela
(Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia) dan Belenggu Masjarakat (Raksi
Seni).Tujuh di antara film-film itu diusahakan pemutarannya serentak di 7 kota:Jakarta
(Metropole dan Cathay), Medan (Olympia), Palembang (International),
Surabaya (Broadway), Makasar (Capitol) dan Banjarmasin (Kalimantan).Pembukaan festival
(di Jakarta) dimeriahkan pawai artis. Nyaris semua bintang sedia
ikut. Antara lain yang ketika itu sedang popular: Rd. Mochtar, Netty
Herawati, AN Alcaff, Ellya (Rosa), Ermina Zainah, Sofia Waldy (Sofia
WD), Rd. Sukarno (Rendra Karno), Amran S. Mouna, Turino Djunaidi, A.
Hamid Arif, S. Poniman, Nurnaningsih, Rd. Ismail, Nurhasanah, Risa
Umami, Lies Noor, Mimi Mariani, Djuriah (Karno), Fifi Young, Salmah,
Bambang Hermanto, Chatir Haro, S.A. Rosa, dll.Pawai
dimulai dari Gedung Olahraga (depan kantor Gubernur Jakarta-tapi
sekarang telah jadi bagian dari lapangan Monas), Merdeka Selatan,
Merdeka Barat, Segara (Veteran) III, Pecenongan, Krekot, Gunung
Sahari/Cathay (kini pasar swalayan), Gunung Sahari/Senen, Salemba, Jalan
RSCM, Metropole, Cikini, Merdeka Selatan, Gedung Olahraga. Pawai
diadakan pada 30 Maret 1955, dimulai pukul 17.00. Pawai dilepas oleh
Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Prof. Moh. Yamin, SH.Kemeriahan
itu berlanjut dengan pemutaran film-film (pilihan) di Metropole dan
Cathay. Malam pembukaan di Metropole dibuka resmi oleh Menteri
Penerangan, dr. F.L. Tobing. Kembali Metropole menunjukkan rasa
kebangsaan setelah pada 1954 berani memutar KRISIS (yang ternyata laris
hingga 5 minggu) padahal terikat importir asing (MGM/Amerika). Di
bioskop itu pula berlangsung kongres yang melahirkan persatuan bioskop
Indonesia, 10 April 1955.Penutupan/pengumuman
pemenang festival menimbulkan suara pro dan kontra. Disebabkan
terpilihnya juara-bersama untuk aktor utama AN Alcaff (Lewat Djam Malam)
dan A. Hadi (Tarmina); aktris utama Dhalia (Lewat Djam Malam) dan
Fifi Young (Tarmina); serta aktor pembantu Bambang Hermanto dan
Awaludin (bintang Persari) dalamLewat Djam Malam.Ada
yang menyambut hasil festival sebagai kemenangan Perfini. Lalu ada
yang menulis bahwa penulis itu pro Perfini. Sebaliknya si penyanggah
itu kemudian dituding pro Persari. Tentu tidak lepas dari peran Djamal,
yang tidak cuma jadi penggagas, tapi sekaligus men”cukongi” festival.
Terlihat juga dari direbutnya gelar sutradara terbaik oleh Lilik
Sudjio (Tarmina), bukan oleh Usmar (Lewat Djam Malam).Lepas
dari itu terselenggaranya festival juga dimungkinkan oleh kondisi
perfilman Indonesia yang memang sedang “lancar”, produksi naik dari
tahun ke tahun: • 1949 - 8 film • 1950 - 23 film • 1951 - 40 film • 1952 - 50 film • 1953 - 41 film • 1954 - 60 film • 1955 - 65 filmEfek
festival, yang dimaksud bersifat tahunan, pada 10 Maret 1956 lahir
Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), disusul berdirinya (secara
resmi) PPFI yang dipimpin Djamaludin Malik pada 16 Juli 1956. Tapi, pada
1956tidak ada festival. Kondisi film Indonesia mulai goyah, produksi
1956 (36 film) turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.Setelah
kongres, para artis langsung ber”demo” ke presiden Sukarno. Mereka
diterima di Istana. Wakil artis adalah Rd. Sukarno (Rendra Karno).
“Aksi” itu didukung PPFI, menunjukkan bahwa kepentingan artis dan “boss”
itu sama. Sama-sama ter”gencet” film impor (di bioskop), baik yang
dari Hollywood/Barat maupun Malaya/Malaysia dan India.Gerakan
“protes” artis itu seperti tak meninggalkan bekas sama sekali. Maka,
kembali Djamal bertindak berani: sebagai ketua (baru) PPFI, dia
umumkan “tutup studio”, mulai 19 Maret 1957. Artinya stop produksi!
Pernyataan para produser itu didukung artis. Lagi-lagi terlihat bahwa
produser dan artis punya kepentingan yang sama, ingin “film Indonesia
jadi tuan rumah di negeri sendiri.”Ternyata berhasil membikin pemerintah
dan parlemen (DPR) terkejut. Kenapa para artis langsung menghadap
presiden Sukarno, dan mengapa produser perlu “mogok”?. Karena hingga
saat itu urusan film ditangani oleh berbagai Kementerian/Departemen.
Pada 1950-an itu urusan pengimporan bahan baku dan peralatan di bawah
Kementrian Perdagangan, urusan film impor di bawah Perdagangan/Keuangan,
sensor dibawah Pendidikan & Kebudayaan, bioskop dibawah Dalam
Negeri, dan PFN dibawah Penerangan. (Peresmian pawai pada FFI 1955 oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan malam pertama festival
diresmikan Menteri Penerangan).Akhirnya pemerintah
menyetujui untuk mengurangi/membatasi impor film India pada
khususnya, dan penjatahan (quota) film impor secara umum. Namun
pelaksanaan peraturan itu baru terjadi berbulan-bulan kemudian,
sehingga importir film India sempat “menimbun”. Padahal PPFI segera
menghentikan “pemogokan”nya pada 26 April 1957.Sementara
itu pihak kiri/PKI memancing di air keruh. Djamal dan Usmar dikenal
pula sebagai tokoh-poltik, mereka pengurus Nahdatul Ulama (NU). Hal itu
membikin PKI punya alas an untuk melepaskan peluru, aksi “tutup
studio” PPFI dianggap tidak tepat alasannya, karena (menurut kaum
komunis) yang merusak film Indonesia adalah produksi Hollywood
(Amerika yang di-cap imperialis/neo-kolonialis).Padahal
film (dari) Barat itu sulit digoyang dari bioskop “atas” di kota-kota
besar. Tapi di bioskop kelas dua/bioskop rakyat, film Indonesia
terengah-engah di”keroyok” film Malaya/Malaysia dan India. Tak sedikit
produser Indonesia yang ikut-ikutan “menyanyi dan menari” ala
Malaya/India.Bahkan
Usmar/Perfini coba berkompromi, bikin film musikal Tiga Dara (1956).
Film hiburan yang (tetap) bermutu itu ternyata laris. Tapi kemudian
Perfini kembali ke “jalur”, membuat Pedjuang (1960) dengan prestasi best
actor untuk Bambang Hermanto (1925-1991) di festival internasional
Moskwa tahun 1961. Merupakan piala pertama yang digondol pemain
Indonesia di ajang internasional.“Rame-rame”
yang dipicu PKI bikin tak terselenggaranya festival pada 1956 dan
1957 maupun 1958 dan 1959. Lebih-lebih si pendorong festival, Djamal
dikenai tahanan rumah (masalah politik) pada 1957, tanpa diadili hingga
2 tahun kemudian. Biar situasi produksi memprihatinkan • 1956 - 36 film • 1957 - 21 film • 1958 - 16 filmNamun
Djamal justru melakukan “lompatan”, bikin festival pada 21-26
Pebruari tahun 1960. Golongan kiri mulai “masuk”, karya orang “mereka”
TURANG terpilih sebagai film terbaik. Formatur juri Usmar dan Asrul
Sani menghasilkan dewan juri Ny. Utami Surjadarma, dr. Rusmali, Sitor
Situmorang, Pak Said dan Kotot Sukardi. Hasil festival dikirim ke
Festival Asia (5-9 April) 1960 di Tokyo, Suzzanna terpilih sebagai
aktris cilik terbaik dalam karya Usmar Asrama Dara. • Film Center • Penghargaan • Kegiatan • KomunitasPerfilman Nasional dari Masa ke Masa (2)Ketika Rakyat Indonesia Perlu HiburanOleh Hardo SukoyoMinggu, 27 November 2005Selama
masa pemerintahan Presiden Soeharto, lahir beberapa kebijakan
perfilman yang dilakukan tujuh Menpen, yaitu; B.M. Diah (1967-1971),
Boedihardjo (1971- 1975), Mashuri (1975 - 1978), Ali Moertopo (1978 -
1983), H. Harmoko (1983-1996), Hartono (1996 - 1997), dan Alwi Dahlan
(1997 - 1998).Untuk
kepentingan POLEKSOSBUD saat itu, Menpen B.M. Diah (1967-1971)
menempuh kebijakan di bidang politik, agar gedung bioskop tidak
dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonseia (PKI) dalam melakukan
agitasi. Di bidang ekonomi, dengan inflasi 600% (masuk buku Guiness
Book Of Records), kegiatan produksi film jadi tidak menguntungkan,
produksi berkurang. Karena itu kebutuhan film di Indonesia terus
ditunjang dengan keberadaan film impor. Di bidang sosial budaya, agar
rakyat Indonesia dapat melepaskan diri dari ketegangan, perlu segera
diberi hiburan. Karena itu perlu diadakan pemutaran film di
gedung-gedung bioskop di Indonesia.Guna melaksanakan kebijakan memanfaatkan
film impor untuk membantu tumbuhnya kembali film Indonesia,
dikeluarkanlah SK Menpen No.71 tahun 1967; yang isinya antara lain;
Memungut "sumbangan film impor untuk rehabilitasi film nasional", dengan
ketentuan wajib setor Rp. 250.000,- untuk setiap judul film yang
diimpor, dengan hanya memasukkan 2 copy film.Pungutan
itu disebut saham produksi atau dikenal dengan nama Dana SK 71 yang
dikelola Yayasan Dana Film. Dan dana yang terkumpul melalui mekanisme
Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), digunakan untuk memproduksi film
Indonsia percontohan.Dampak negatif dari
kebijakan membuka kran impor tentu saja bertambahnya jumlah importir
dan itu mengakibatkan harga film impor mahal. Dampak positifnya,
jumlah gedung bioskop dan pertunjukan film bertambah di. Rakyat dapat
menikmati hiburan film dengan harga murah. Kehidupan malam di sekitar
bioskop menjadi marak, dan menghidupkan usaha kecil di sekitar gedung
bioskop. Dihapuskannya jam malam, sehingga menimbulkan rasa aman pada
masyarakat secara luas.Di
era Menpen Boediardjo (1971-1975) di bidang impor film ada dua
kebijakan. Yaitu, ditetapkannya "Quota film impor" setiap tahunnya, yang
membatasi jumlah film yang diimpor, tapi mengijinkan penambahan
jumlah copy per judul dari 2 copy menjadi 4 copy. Dan dibentuknya
Badan Koordinasi Impor Film (BKIF) sebanyak 3 buah yaitu: kelompok
film Eropa Amerika, Mandarin, dan film Asia non Mandarin.Di bidang produksi film dibuat 2
kebijakan. Yaitu, membubarkan Dewan Produksi Film Nasinal (DPFN),
karena film-film percontohan yang dibuat memakan biaya banyak, namun
tidak bagus dalam kualitas. Menetapkan SK Menpen tentang modifikasi dana
SK 71. Yaitu, dimulainya penggunaan dana SK.71 untuk kredit produksi
film, dengan ketentuan besar kredit separuh biaya produksi, maksimal
Rp.7.500.000 per judul.Dampak
positif kebijakan Menpen Boediardjo adalah; adanya peluang lebih
besar bagi pemasaran film Indonesia, dan memungkinkan produksi film
Indonesia bertambah jumlahnya. Mengurangi jumlah importir film secara
bertahap dan alamiah. Mengurangi persaingan yang tidak sehat, dan
menghilangkan hal-hal negatif lainnya yang sebelumnya sering terjadi.Dampak negatifnya,
peningkatan jumlah produksi tidak diikuti peningkatan kualitas dan
jumlah penonton. Akibatnya terjadilah kredit macet. Banyaknya kredit
macet mengakibatkan dana tidak dapat bergulir untuk produksi film
berikutnya. Effektivitas kebijakan Menpen Boediardjo pun dipertanyakan.Kebijakan
Menpen Mashuri (1975-1978) di bidang film impor diantaranya:
Menghentikan ketentuan "wajib setor seham produksi" dan menghentikan
dengan ketentuan "wajib produksi" untuk para importir film. Yaitu
memasukkan 5 judul film dari luar negeri, importir harus terlebih dahulu
memproduksi 1 judul film Indonesia.Tahun
berikutnya ketentuan "wajib produksi" diperberat, yakni 1 : 3 dan
tetap membatasi jumlah film impor melalui ketentuan quota setiap
tahunnya. Kemudian, membubarkan ketiga BKIF dan membentuk 4 buah
Konsorsium film impor yaitu, Eropa Amerika I, Eropa Amerika II,
Mandarin, dan Asia non Mandarin.Kebijakan
di bidang film Indonesia adalah diterbitkannya SK Tiga Menteri
(Menpen, Mendagri, dan Mendikbud) tentang Wajib putar dan Wajib edar
film Indonesia. Serta melikuidasi Yayasan Film, karena dihapuskannya
wajib setor seham produksi. Sedangkan Dewan Film tidak dibubarkan,
tetapi juga tidak diaktifkan.Dampak
negatif kebijakan Menpen Mashuri adalah, sebagian besar film
diproduksi secara terburu-buru dan terkesan asal jadi, karena SDM dan
peralatan produksi film yang tidak memadai, serta mengejar waktu agar
dapat segera mengimpor film. Peningkatan jumlah produksi yang sangat
besar membuat sesama film Indonesia berebut tempat pemutaran film,
padahal bisokop masih lebih senang memutar film impor.Sementara
dampak positif dari kebijakan itu adalah, "wajib produksi" berhasil
menaikkan jumlah produksi film Indonesia terbanyak selama Indonesia
merdeka, yaitu 114 judul dalam tahun 1977. Munculnya banyak kesempatan
kerja di bidang perfilman serta melahirkan tokoh-tokoh sineas yanag
memiliki kualitas seperti, Wim Umboh, Teguh Karya, Wahyu Sihombing dll.Menpen
Ali Moertopo (1978-1983) yang kebijakannya menjadikan film Indonesia
harus bersifat cultural edukatif itu, membubarkan keempat konsorsium
Film Impor dan membentuk 3 asosiasi importir film yaitu. Asosiasi
importir film Mandarin, Asosiasi importir film Asia non Mandarin, dan
Asosiasi importir film Eropa Amerika.Menpen
Ali Moertopo juga menghapuskan ketentuan wajib produksi oleh importir
film dan tetap mempertahankan ketentuan quota film impor untuk setiap
tahunnya. Mengenakan pungutan untuk setiap judul film impor dengan
nama "Dana Sertifikat Produksi" Rp. 2.500.000 perjudul. Sementara
Dewan Film Nasioanal menyusun Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan
Perfilman Nasional dengan konseptornya Drs. Asrul Sani. Lembaga itu
dimaksudkan sebagai sebuah landasan pembinaan dan pengembangan
perfilman yang terpadu dan berkesinambungan.Kebijakan
Menpen Ali Moertopo itu pun selain berdampak positif juga berdampak
negatif. Dampak negatif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya,
para importir tidak lagi wajib memproduksi film Indonesia. Para
importir film yang dapat menjamin supply film yang pasti dan
berkualitas baik serta dapat menarik penonton ke bioskop, secara
bertahap mulai mengendalikan para pengusaha bioskop. Gedung-gedung
bioskop di kota-kota besar mulai diambil alih atau dibangun oleh
importir film. Para produser film Indonesia semakin rendah daya
saingnya menghadapi para importir film terutama dalam memperoleh waktu
dan tempat di bioskop yang baik untuk pemutaran film-film produksi
mereka.Adapun
dampak positif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya adalah
secara drastis menurunkan hampir separuh jumlah importir film yang ada.
Terkumpulnya "Dana Sertifikat Produksi" dari 3 Asosiasi importir
film; yang selain untuk membiayai produksi film Indonesia juga untuk
meningkatkan aprsiasi film Indonesia melalui penyelenggaraan Festival
Film Indonesia.* Penulis, wartawan senior di Jakarta.
Nama Piala Citra, Gagasan Siapa?
Citra, engkaulah bayangan Waktu Subuh mendatang Citra, kau gelisah malam Dalam kabut suram
Kau dekap malam kelam Pelukan penghabisan Kau singkap tirai kabut Dan selubung
Tenggelam kau jumpai Di dalam rimba malam Kau buka pagi baru Senja nyawamu
Citra, kau bayang abadi Dalam kabut fajar
LAGU "Citra" ciptaan Cornel Simanjuntak berdasarkan lirik H. Usmar Ismail itu selalu berkumandang saat berlangsungnya puncak penghargaan Piala Citra untuk Film Terbaik di acara Festival Film Indonesia (FFI). Lagu tersebut, menjadi ilustrasi film "Bayangan di Waktu Fajar" karya Usmar Ismail, produksi tahun lima puluhan, yang dibintangi Nurbani Yusuf. Visualisasi adegannya hampir sama persis dengan lirik lagunya.
Pada awal-awal diselenggarakannya FFI, piala penghargaannya tidak menggunakan nama Piala Citra. Lalu siapa yang pertama kali mengusulkan nama Citra untuk piala penghargaan FFI itu?
Saya menemukan jawabannya setelah membaca buku Kenang-kenangan Orang Bandel, sebuah memoar H. Misbach Yusa Biran. Seminggu yang lalu, Pak Misbach mengirimkan buku tersebut dan saya langsung membacanya. Tepat seperti apa yang diungkapkan oleh sahabat Pak Misbach, sastrawan Ajip Rosidi, "Memoar yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran ini sangat menarik dan penting. Menarik karena cara mengisahkannya yang gesit dan bernada mengejek diri (walaupun ada rasa bangga di dalamnya). Penting karena dalam memoar ini bukan saja terungkap latar belakang kehidupannya sebagai orang Banten, tetapi juga tentang situasi perfilman Indonesia sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an".
Ceritanya, Soemardjono, Dekan Akademi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta), Ketua Karyawan Film & Televisi, juga editor terkemuka, ngotot ingin menyelenggarakan FFI di berbagai daerah walaupun dananya masih belum bisa terbayangkan. Ketika itu, rencananya FFI akan berlangsung di Surabaya. Soemardjono dengan ditemani Misbach Yusa Biran (Wakil Ketua KFT/Dosen Akademi Sinematografi), hendak bertemu dengan Gubernur Jatim saat itu, Moh. Noer. Keduanya bermalam di sebuah penginapan kecil di pinggir Kota Surabaya. Biaya penginapan mendapat bantuan dari orang tua salah seorang mahasiswa akademi sinematografi. Karena tidak memiliki uang yang banyak, untuk makan, mencari di luar agar lebih murah. Pak Soemardjono dan Pak Misbach naik becak mencari tempat makan yang murah.
"Di perjalanan berbecak itu Soemardjono tanya saya, apa saya ingat lagu Citra, karya Cornel Simanjuntak. Saya ingat. Lagu itu syairnya dibuat oleh guru kami, Usmar Ismail, dan memang merupakan salah satu lagu jenis seriosa yang saya suka. Saya nyanyikan lagu itu, banyak bagian syairnya yang masih saya ingat. Soemardjono menimpali. Spontan saja kami sama-sama setuju agar nama piala yang diberikan pada FFI nanti adalah Citra. Pemilihan nama itu bukan saja terselip pengabdian kami atas karya guru kami, tetapi juga kata citra enak disebut, seperti oscar. Lagi pula pengertiannya sesuai. Citra berarti image. Lagu "Citra" kemudian nanti ditetapkan juga sebagai lagu tema (theme song) FFI. Kami menyanyi-nyanyi gembira sekali di atas becak. Padahal, FFI-nya sendiri masih akan kami bicarakan dengan Gubernur Jatim besok" (hal. 279).
Tokoh yang berjasa membangkitkan kembali FFI, terutama dua orang itu, Soemardjono dan Misbach, keduanya sama-sama "didikan" NV Perfini, sebuah perusahaan film milik pelopor film nasional H. Usmar Ismail. FFI pertama diselenggarakan tahun 1955, yang kedua tahun 1960. Sejak itu, FFI tidak diselenggarakan lagi. Soemardjono dan Misbach berkeras hati untuk menghidupkan kembali FFI.
Panitia dibentuk dengan ketua bukan dari KFT. Cara demikian ditempuh dengan harapan agar organisasi lain tidak menganggap ambisi KFT saja. Namun, panitia kemudian menyerah. Mereka tidak tahu bagaimana menyediakan biaya FFI yang begitu besar. Saat itu, diperkirakan perlu dana 12.500.000, jumlah yang bisa membiayai pembuatan dua film hitam putih atau satu film berwarna. Jalan keluarnya dipecahkan oleh Johan Tjasmadi, Ketua GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) Jakarta. Melalui dukungan pengusaha-pengusaha bioskop Jakarta, FFI tahun 1973 berjalan dengan selamat. (Hal. 278).
Kini seiring dengan perkembangan teknologi, FFI diselenggarakan selaras dengan gemerlapnya dunia film. Megah bertabur bintang dengan atraksi beragam mode pakaian, menggunakan karpet merah tempat berjalannya para artis, semarak dengan hiburan menampilkan grup band dan penyanyi ternama.
Padahal, jika mencoba menyimak jauh ke belakang, seperti yang terungkap dalam memoar Misbach Yusa Biran, mereka yang berjuang menghidupkan kembali FFI benar-benar berjuang tanpa pamrih. Mereka adalah orang-orang idealis yang tidak menakar untung rugi sebab kalau ukurannya siapa yang untung melalui FFI, pasti bukan karyawan, melainkan produser dan artis. Mereka tidak berpikir tentang siapa yang diuntungkan, tetapi bagaimana mereka bisa ikut membangun perfilman nasional.
Semboyan "Bangkit Menuju Citra Baru", tentu dengan bekal semangat pengabdian para pendahulunya sehingga orang-orang film benar-benar bisa menghargai keberadaan FFI yang diperjuangkan oleh anak bangsa yang sepenuhnya mengabdi kepada dunia perfilman nasional. Piala Citra, semoga melambangkan semangat Usmar Ismail dalam memajukan film Indonesia yang berwajah Indonesia dan melambangkan semangat para tokoh film yang telah berjuang tanpa pamrih untuk meningkatkan kembali citra FFI.***
Eddy D. Iskandar Ketua Umum FFB, penulis novel/skenario, Pemred SKM Galura, Ketua Panitia Pelaksana Daerah FFI 2008
Sumber Copas : "http://indonesiancinematheque.blogspot.com/2009/11/festival-film-indonesia-ffi.html"
Makasih gan udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............
bisnistiket.co.id